Komunikasi Terbuka dan Dukungan Keluarga Jadi Benteng Pertama Cegah Bunuh Diri pada Remaja

Ilustrasi remaja mudah stress dan ingin bunuh diri. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Maraknya kasus gangguan mental yang berujung pada ide bunuh diri di kalangan remaja mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan jiwa di Samarinda.

Psikiater Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam, dr. Sri Purwatiningsih, menegaskan bahwa fenomena ini merupakan kondisi darurat psikiatri yang harus segera ditangani secara profesional.

“Jangan sampai menunggu dia mewujudkan itu (bunuh diri). Kalau sudah ada pikiran-pikiran bunuh diri sebaiknya harus langsung berobat,” tegasnya.

Menurutnya, banyak orang tua maupun lingkungan sekitar masih menganggap remeh perubahan perilaku anak yang sesungguhnya menjadi tanda-tanda depresi. Beberapa gejala yang patut diwaspadai antara lain wajah yang selalu tampak sedih, hilangnya minat pada aktivitas yang sebelumnya digemari, serta cepat merasa lelah.

“Perubahan seperti ini tidak boleh dianggap hal biasa. Itu adalah sinyal yang menunjukkan ada beban berat dalam diri remaja yang tidak tersampaikan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sri menambahkan, perilaku melukai diri sendiri atau self-harm yang marak di kalangan remaja saat ini seringkali disalahartikan. Menurutnya, tindakan itu tidak selalu bertujuan untuk mengakhiri hidup, namun merupakan cara yang salah dalam meredakan emosi.

“Remaja melukai diri bukan karena ingin mati, tetapi karena tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa marah, sedih, atau cemas. Namun, kalau tidak ditangani, itu bisa berkembang menjadi ide bunuh diri,” ujarnya.

Ia mengingatkan, komunikasi terbuka dalam keluarga adalah benteng pertama agar anak tidak mencari pelarian yang membahayakan dirinya sendiri.

Lebih jauh, Sri menguraikan bahwa penyebab munculnya pikiran bunuh diri pada remaja tidak sederhana. Faktor gangguan kejiwaan seperti depresi dan kecemasan menjadi pemicu utama, namun lingkungan juga berperan besar, misalnya perundungan (bullying) di sekolah, pola asuh yang salah sejak kecil, hingga adanya riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.

“Kurangnya validasi emosi saat kecil membuat anak kesulitan menyalurkan perasaan. Akibatnya, mereka memilih cara keliru, salah satunya dengan melukai diri,” katanya.

Ia menambahkan, kelompok usia 12 hingga 19 tahun adalah yang paling rentan, dengan remaja perempuan memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi mengalami depresi dibandingkan laki-laki.

Meski kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan, Sri melihat adanya tanda positif. Semakin banyak remaja yang datang ke RSJD Atma Husada Mahakam secara mandiri untuk berkonsultasi, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan mental.

“Ini perkembangan yang baik. Namun, dukungan keluarga dan sekolah tetap menjadi kunci utama agar remaja benar-benar pulih dan tidak kembali pada kondisi berbahaya,” tambahnya.

Terakhir, Sri mengajak semua pihak, mulai dari orang tua, guru, hingga masyarakat luas untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku remaja. Menurutnya, penanganan sejak dini, baik melalui konseling maupun terapi medis, dapat mencegah tragedi bunuh diri yang seharusnya bisa dihindari.

“Setiap pikiran untuk bunuh diri harus dianggap serius. Jangan menunggu hingga terlambat. Kesigapan keluarga, dukungan sekolah, dan akses cepat ke layanan kesehatan jiwa bisa menyelamatkan nyawa,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id