Sejumlah Pakar Hukum Tata Negara Menyimpulkan Baru Terhitung Satu Periode, Bupati Edi Bisa Maju Pilkada 2024

Simposium Pilkada 2024 di Gedung Silat Kompleks GOR Aji Imbut, Tenggarong Seberang, Selasa (29/8/2023).

Tenggarong, Kaltimetam.id Tafsir terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XXI/2023 terhadap uji materi Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada makin terang benderang. Para pakar hukum menilai, Edi Damansyah baru terhitung satu periode menjabat sebagai bupati Kutai Kartanegara. Edi masih memiliki hak konstitusional untuk mengikuti Pemilihan Bupati Kukar pada Pilkada Serentak 2024.

Kesimpulan itu disampaikan empat pakar hukum yang memiliki otoritas, pengalaman, dan kompetensi mengenai tema hukum tersebut. Mereka berbicara dalam Simposium Pilkada 2024 di Gedung Silat Kompleks GOR Aji Imbut, Tenggarong Seberang, Selasa, 29 Agustus 2023. Bertindak sebagai moderator, dosen hukum tata negara, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah.

Narasumber pertama yang juga eksaminator putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023 yaitu Profesor Aswanto. Ia adalah hakim sekaligus wakil ketua MK selama dua periode pada 2018 sampai 2022. Profesor Hamzah Halim adalah narasumber kedua. Akademikus berusia 43 tahun ini merupakan guru besar hukum tata negara. Hamzah Halim sekarang menjabat sebagai dekan Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Pembicara ketiga adalah Hamdan Zoelva. Ia adalah ketua MK periode 2013-2015 dan sekarang berprofesi sebagai konsultan hukum. Zoelva juga mengajar di beberapa perguruan tinggi. Narasumber keempat yakni Heru Widodo. Heru dikenal lewat beberapa buku tentang pilkada yang ditulisnya. Praktisi hukum bergelar doktor ini dikenal karena sering menjadi pengacara dalam sidang di MK.

Profesor Arianto yang menjadi pembicara pertama menyatakan, ada dua cara memahami putusan MK. Membaca utuh amar putusan adalah yang pertama, dan pertimbangan hukum yang sifatnya mengikat adalah cara kedua. Arianto menjelaskan, hakim MK dalam putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023 mempertimbangkan perkara-perkara sebelumnya yang berkaitan dengan norma perkara yang diuji atau mutatif mutandis.

Contoh pertama, terang Arianto, Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009. Permohonan uji materi ini diajukan Nurdin Basirun. Pada periode pertamanya, bupati Karimun itu melalui masa jabatan bupati definitif (25 April 2005 sampai 14 Maret 2006). Pada fase kedua, terpilih sebagai Bupati Karimun dan dilantik pada 15 Maret 2006. MK hanya mempersoalkan penghitungan jabatan definitif yang bersangkutan.

Selanjutnya, pertimbangan hukum atas putusan MK 02/PUU-XXI/2023 sebagai berikut: “Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan”.

Pertimbangan kedua yang bisa dijadikan rujukan penguat adalah Putusan MK Nomor 67/PUUXVIII/2020. Putusan ini mengenai bupati Bonebolango periode 2010-2015, Hamin Pou, yang menjadi pelaksana tugas bupati selama dua tahun delapan bulan sembilan hari. Hamin Pou kemudian menjadi bupati definitif selama dua tahun tiga bulan dan 21 hari.

Putusan MK 67/2020 tidak menyatakan Hamim Pou tak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026 karena terhitung dua periode. Hamin Pou akhirnya menjabat Bupati Bonebolango periode 2021-2026.

Arianto menjelaskan, putusan MK 67/2020 menjelaskan cara menghitung masa jabatan bupati adalah sejak pelantikan. Pertimbangan hukum terkait Hamim Pou ini mirip dengan situasi yang dihadapi Bupati Kukar Edi Damansyah. Sewaktu menjabat wakil bupati Kukar, Edi kemudian dilantik sebagai bupati Kukar periode 2016-2021 menggantikan Rita Widyasari yang berhalangan tetap.

Masa jabatan Edi setelah dilantik yaitu dari 14 Februari 2019 sampai 25 Februari 2021. Dengan demikian, Edi baru menjabat sebagai bupati selama dua tahun sembilan hari atau belum setengah masa jabatan.

“Putusan MK Nomor 67/2022 menjelaskan, seseorang yang menjabat bupati kurang dari dua setengah tahun sejak pelantikan tidak boleh dianggap menjabat satu periode masa jabatan sebagai bupati,” ujar Arianto. “Kita tanya semua yang hadir di sini. Apakah dua tahun 0 hari adalah seperdua dari lima tahun? Kalau kita sudah gila semua, mari kita jawab ya,” sambung Arianto yang disambut tepuk tangan hadirin.

Plt Bupati Tak Bisa Dihitung Menjabat

Hamzah Halim selaku penyampai materi kedua memberikan penjelasannya. Publik disebut harus mencermati pertimbangan putusan berkaitan pejabat definitif dan pejabat pelaksana. Pejabat pelaksana tugas atau plt tidak bisa disebut penjabat definitif. Dalam konteks di Kukar, ia menjelaskan, Edi Damansyah pernah menjabat sebagai pelaksana tugas bupati Kukar selama 10 bulan atau sejak 9 April 2018 sampai 13 Februari 2019.

Sebagai plt bupati Kukar, Edi disebut hanya menjalankan tugas bupati yang masih menjabat yaitu Rita Widyasari. Sebagai wakil bupati, lanjut Hamzah, Edi hanya mendapatkan hak semisal gaji sebagai wakil bupati dan kewenangannya pun terbatas.

Pakar hukum selanjutnya adalah mantan ketua MK, Hamdan Zoelva. Ia sependapat dengan penafsiran hukum mengenai pejabat, penjabat, dan pelaksana tugas. Hamdan menjelaskan, jabatan bupati hanya bisa diisi satu pejabat. Dalam situasi kepala bupati diberhentikan sementara, wakilnya bertugas melaksanakan kewenangan sampai adanya putusan hukum berkekuatan hukum tetap. Dalam konteks Kukar, pertanggungjawaban Edi Damansyah sebagai pelaksana tugas harus tetap kepada pemilik jabatan bupati yaitu Rita Widyasari.

“Kesimpulan saya, wakil bupati yang melaksanakan tugas kepala daerah selama kepala daerah diberhentikan sementara, tidak bisa disebut pernah menjabat sebagai pejabat bupati. Kalau dia menjabat sebagai bupati, maka ada dua pejabat bupati pada saat bersamaan,” urainya.

Rangkaian penafsiran itu diperkuat oleh pakar hukum lainnya, Heru Widodo. Ia menjelaskan, terdapat banyak kesamaan tafsir contrario dan yurisprudensi Putusan Hasil Pemilihan (PHP) Mahkamah Konstitusi yakni putusan MK 02/PUU-XXI/2023 di Kukar dan Putusan MK 67/2020 di Bonebolango.

Dari hasil eksaminasi putusan MK tersebut, Heru berpendapat, masa jabatan Edi sebagai bupati Kukar definitif selama dua tahun sembilan hari dan masa jabatan sebagai pelaksana tugas (Plt) bupati Kukar selama 10 bulan tidak bisa digabung. Heru menegaskan, secara historis atau yurisprudensi putusan MK, tidak ada putusan yang menyebutkan satu periode adalah gabungan antara penjabat definitif dan plt bupati.

“Dari hasil eksaminasi, Pak Edi Damansyah masih dapat berkontestasi sebagai calon bupati pada Pilkada 2024,” tegasnya.

Bupati Kukar Edi Damansyah menyebut simposium ini menjadi forum akademis. Para pembicara yang hadir adalah pakar hukum memiliki otoritas, pengalaman, dan kompetensi di bidang masing-masing. Bupati berharap, simposium ini menjadi proses pembelajaran utuh mengenai keputusan lembaga peradilan. Materi penting yang disampaikan para ahli tidak sebatas kepentingan Kukar. Bisa diterapkan di luar Kukar.

Lagi pula, sambungnya, Kukar belum memasuki tahapan pilkada. Bupati berharap, jangan sampai timbul persepsi hak-hak anak bangsa yang terlanggar akibat perbedaan tafsir putusan.

“Ini pembelajaran bukan hanya untuk Kukar melainkan semuanya. Ini adalah persembahan Kukar untuk nusantara,” tutup Edi. (*)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id